sejarah kebudayaan islam dan budaya lokal
Memasuki bulan Ruwah atau yang bersamaan dengan bulan sya’ban,
masyarakat Jawa sibuk dengan berbagai tradisi yang berbeda beda setiap daerah
untuk merayakan tradisi itu. Diantaranya : Kenduren(Kenduri), Ruwahan, Nyadran
atau Sadranan.
Nyadran
adalah serangkaian upacara yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa,
terutama Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta,
sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi
pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa,
Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah
suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri
selamatan di makam leluhur.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau
sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam
rangka menziarahi makam para leluhur. Hal ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya
dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban
atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang
memiliki kesamaan. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana
nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di
daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.
Tradisi nyadran
merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa
atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya
lokal dan nilai-nilai Islam.
Budaya
masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak
mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha
dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Di daerah Manisrenggo, ruwahan dilakukan dengan Tahlilan selama
bulan Ruwah di rumah- rumah warga secara bergilir. Yakni membacakan do’a untuk
arwah leluhur dan sanak saudara yang sudah meninggal dan pulangnya mereka
diberi ”berkat” sebagai simbol rasa terima kasih.
Di daerah Joho, pada bulan Ruwah yaitu dilaksanakan tradisi
nyadran. Sebelum Nyadran, masyarakat melakukan tradisi bersih makam atau
dikenal dengan nama Besik. Tradisi Nyadran dimulai dengan kenduren pada pagi
hari di salah satu rumah atau jalan. Kenduren berisi aneka macam makanan ringan
atau jajanan pasar, buah-buahan dan nasi serta lauk dan sayur. Setelah di
do’akan kemudian makan bersama pada saat kenduren dan saling berbagi makanan.
Dari anak kecil sampai dewasa, semua berkumpul pada acara kenduren tersebut.
Setelah itu ziarah ke makam para arwah leluhur, berdoa di makam dan
menabur bunga. Untuk merayakan tradisi Nyadran, di daerah Kemalang mengadakan
pertunjukkan wayang.
Sebagian warga juga melakukan tradisi nyadran di sekitar area makam
yang disebut Jodangan. Yakni membawa Jodang atau tempat makanan yang besar yang
berisi nasi dan lauk pauk, serta buah-buahan. Setelah di do’akan Jodang tadi
diperebutkan oleh warga yang telah mengelilingi jodang tersebut. Tidak setiap
rumah mengeluarkan jodang hanya warga yang memiliki rezeki lebih, jadi tidak
dipaksakan untuk semua warga sehingga warga tidak merasa terbebani oleh tradisi
Nyadran itu.
Tapi ada sebagian masyarakat yang ketika Jodangan, makanannya
dibawa pulang kembali setelah dido’akan bersama. Tidak dimakan bersama, jadi
ada masyarakat yang berpikir negatif ( buat apa bawa Jodangan kalau tidak boleh
dimakan orang lain). Hal – hal seperti itulah yang membuat masyarakat saling
menimbulkan rasa benci.
Tradisi Nyadran dapat mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan
antar tetangga dan sanak keluarga. Karena dengan tradisi ziarah ke makam para
leluhur atau orang tua, sekalian berkunjung ke rumah saudara yang rumahnya
dekat dengan makam.
Di daerah lain, salah seorang mengadakan Kenduren Nyadran yang
berisi bahan makanan mentah seperti beras, mie, telur, gula yakni sembako dan
buah-buahan yang dibagikan ke tetangga lainnya.
Setiap daerah melakukan tradisi Nyadran pada hari yang telah
ditentukan oleh tetua di daerah tersebut dari mulai hari ke 20 diantaranya:
pada hari ke 20,22,24 25 pada bulan Ruwah atau Sya’ban dan ada di daerah Kebondalem Lor yaitu pada hari jum’at, minggu terakhir pada
bulan Ruwah.
Dalam konteks
sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat
sosial. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama
tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan
agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak
sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya,
seperti budaya gotong royong, guyub, pengorbanan menjadi ajang silaturahmi
keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Di sini ada
hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota
keluarga. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan
tradisi dari yang tua kepada yang muda untuk nantinya melestarikannya .
Tapi ada sebagian orang yang tidak mengikuti tradisi itu, karena
mereka berpendapat bahwa Nyadran tidak ada dalilnya. Tapi sebagian orang juga
berpendapat bahwa Nyadran merupakan Tradisi yang sudah ada sejak lama yang
harus tetap dilestarikan.
Perbedaan pendapat seperti itu seharusnya tidak membuat permusuhan
antar tetangga seharusnya saling toleransi dan menghargai satu sama lain.
Berikut beberapa ragam Tradisi Nyadran dibeberapa daerah sekitar
tempat tinggal saya:
Silaturahmi pada sanak saudara di desa Candran, Jogonalan.
Acara kenduri (kenduren) berkumpul di tempat yang telah ditentukan.
Di desa Joho.
Kenduri
(kenduren)berupa nasi dan buah-buahan.
Ziarah ke makam di desa Plembon, Randusari
Mendo’akan keluarga yang telah meninggal di Makam Jogonalan
Selain berdo’a sebagian
orang menabur bunga di atas makam. Tidak semua orang memakai bunga. Hanya do’a
saja.
Tradisi Jodangan di area sekitar makam, yang diikuti dari beberapa
desa. Memakai tempat yang besar yang disebut Jodang. Berisi makanan dan
buah-buahan.
Tradisi Rayahan di desa Candran, Jognalan. Menggunakan Tambir.
Perayaan Nyadran masih terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa.
Namun seiring berjalannya waktu, Nyadran berkembang dengan berbagai acara yakni
untuk bersedekah dengan sesama. Berbagi makanan, yang dapat menambah hubungan
kekeluargaan. Bukan untuk sesembahan atau sesaji untuk arwah yang meninggal.
Namun para sesepuh atau orang tua,masih ada yang berpaham mistis.
Sebagai orang yang berpendidikan dan paham agama hendaknya tidak
menjadi profokasi salah satu pihak yang justru akan menimbulkan perpecahan
antar masyarakat karena tidak sepaham dengan apa yang dilakukannya. Tetapi
senantiasa mengawasi apa yang dilakukan masyarakat agar tetap sejalan dengan
ajaran agama Islam.
Agar tidak terjadi permasalahan di masyarakat karena berselisih
paham antara masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran dan tidak melakukan
tradisi Nyadran yakni masyarakat harus saling menghormati satu sama lain.
Saling menerima keputusan atau keyakinan yang diambil. Dan juga saling
menghormati dalam melaksanakan tradisi Nyadran karena setiap daerah memiliki
cara untuk melaksanakan Tradisi Nyadran, setiap daerah berbeda-beda sesuai
sosial budaya yang telah berkembang di daerah tersebut.
Seperti saat-saat ini yang terjadi di Indonesia, banyak masyarakat
antar golongan yang berselisih paham. Mereka tidak menghargai serta menghormati
pendapat dan perbedaan yang ada. Hal-hal yang demikian itu yang menyebabkan
terjadinya perpecahan antar sesama umat Islam.
Komentar
Posting Komentar