filsafat pendidikan Islam "orientasi hidup manusia"
A. Hakekat dan Tujuan
Penciptaan Manusia
Ada teori besar
yang pernah diperkenalkan oleh Charles Darwin tentang asal muasal manusia.
Teori itu mengatakan bahwa manusia pada mulanya adalah kera yang kemudian
ber-evolusi melalui perubahan-perubahan mekanis yang pada akhirnya berubah
menjadi manusia sempurna seperti kita.
Munculnya teori
ini sangat menyinggung kaum agamawan pada waktu itu, dan bahkan sampai saat
ini. Berbagai argumen pun bermunculan untuk meruntuhkan teori tersebut.
Terlepas dari benar atau salahnya teori itu, sebagai seorang muslim, perlu
kiranya kita memahami asal usul manusia dengan merujuk pada sumber utama kita,
yaitu Al-Qur’an, sekaligus memperbandingkan apakah teori dari Darwin tersebut
sejalan dengan Al-Qur’an atau justru bertentangan.
Dalam Al-Qur’an
sangat jelas bahwa manusia pada mulanya tidak seperti yang dikatakan oleh
Darwin melalui teorinya. Akan tetapi manusia pertama (Nabi Adam as) adalah
salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sempurna, atau dalam bahasa
Qur’an dikatakan ahsani taqwiim. Ahsani taqwim ini menunjukkan bahwa manusia
memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain, baik itu hewan,
jin, maupun malaikat. Secara lebih rinci Al-Qur’an telah menjelaskan
tentang penciptaan manusia, hal tersebut
dapat dikategorikan dalam 4 cara, (1) diciptakan dari tanah (penciptaan nabi
adam) : Q.S. Al-Hijr 15 : 26, (2) Diciptakan dari tulang rusuk (penciptaan
hawa) : Q.S. An-Nisa’ 4 : 1, (3) diciptakan melalui seorang ibu melalui proses
kehamilan tanpa ayah/ tanpa proses biologis (penciptaan nabi isa as) : Q.S.
Maryam 19 : 16-22), dan (4) diciptakan
melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain
adam, hawa, dan isa) : Q.S. Al-Mu’minuun 23 : 12-14.
Allah
menciptakan manusia, tidak dengan kesia-siaan. “Maka apakah kamu mengira bahwa
Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?” [Al-Mu’minun: 115]. Atau tidaklah manusia diciptakan
sebatas untuk menikmati kehidupan dunia dan segala keindahannya. Pada
hakekatnya Allah menciptkan manusia tujuannya adalah :
1.
Untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”,
(Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56).
Harus
ditekankan disini, bahwa menyembah dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan
sebagai upacara ritual-seremonial (religious system) yang umum kita pahami,
namun ibadah disini dipahami secara umum, jauh lebih luas dari pemaknaan itu, yaitu
aktifitas mendekatkan diri kepada Allah dengan segala cara yang dibenarkan oleh
Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) dalam semua aspek kehidupan.
2.
Untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah kepada para malaikat
tatkala akan menciptakan manusia:
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً ......
Artinya : “
Ingatlah, ketika Tuhanmua berkata kepada para malaikat, Aku akan menciptakan
khalifah di atas bumi”, (Q.S. Al-Baqarah 2 : 30).
Secara
etimologis, khalifah berarti pengganti atau yang mewakili. Jika Umar bin
Khattab disebut Khalifah dalam memimpin negara, maka manusia adalah makhluk
yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola bumi ini atas nama Allah. Semula
para malaikat mengira bahwa, tugas adam dan anak cucunya hanyalah beribadah
kepada Allah dalam arti sempit, seperti bertasbih dan memuji-Nya. Oleh sebab
itu malaikat bertanya, apakah tidak cukup kami (malaikat) yang senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah. Tetapi rupanya Allah menginginkan
manusia tidak hanya beribadah dalam arti sempit, tetapi juga beribadah dalam
arti seluas-luasnya yang dalam ayat ini disebut sebagai Khalifah.
Dengan
demikian, tugas kekhalifahan manusia belum terlaksana manakala manusia hanya
sekedar melakukan ibadah dalam arti sempit (ritual-seremonial), namun manusia
dituntut juga untuk mengelola secara dinamis dan kreatif kehidupan di atas
permukaan bumi ini.
3. Tujuan lain dari penciptaan manusia adalah untuk menyeru kepada sesama
dalam kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar (amar ma’ruf dan nahi munkar). “Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka.
Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan diantara mereka adalah
orang-orang fasik.” [Ali Imran: 110]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia
juga mengemban tugas untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan
mungkar.
4. Dambaan manusia yang benar adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al- Baqarah 200-201 :
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠)وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ (٢٠١)
Artinya : “
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang berdoa: "Ya
Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya
bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".
5.
Ridho Allah harus menjadi tujuan hidup manusia. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. At-Taubah : 100
وَالسَّابِقُونَ
الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (١٠٠)
Artinya :
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”[1]
Dengan
demikian, tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk mengabdikan dirinya
kepada sang pencipta. Yaitu pengabdian yang tulus tanpa ada tendensi apapun
selain hanya ingin mendapat ridho-Nya. Seperti halnya ayat yang sering kita
baca, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semuanya adalah
untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Karena kita adalah milik Allah dan akan
kembali kepada Allah.
B.
Fitrah Manusia
Allah menciptakan umat manusia dengan fitrah
bertuhan. Tidak ada manusia yang lahir tidak bertuhan, semuanya dilahirkan
dalam keadaan mengakui adanya Tuhan. Secara metaforis Allah menggambarkan bahwa
setiap manusia sudah memberikan kesaksian sejak alam rahim bahwa Allah adalah
Tuhannya. Hal itu dinukil oleh Allah dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab: Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani
adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaaan Tuhan)”. (Q.S.
Al-A’raf 7 : 172)
Menurut ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa
setiap manusia anak cucu adam telah memberikan kesaksian sebelum mereka dilahirkan
bahwa Allah adalah Rabb mereka, Malik dan Ilah-nya, tidak ada Ilah melainkan
Allah semata (Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir). Oleh karena itu Allah
memerintahkan kepada umat manusia untuk tetap berada dalam fitrah Tauhid
tersebut dengan cara mengikuti agama Allah yang lurus (Islam).
Fitrah bertuhan itu hanyalah potensi dasar yang
harus dipelihara dan dikembangkan. Kedua orangtualah yang berkewajiban untuk
memelihara dan mengembangkannya sehingga setelah dewasa nanti anaknya tetap
menjadi Muslim. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang berperan) merobah anak itu
menjadi seorang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam sebuah riwayat, abu Hurairah
merekomendasikan hadits tersebut agar dikaitkan dengan Q.S. Ar-Rum 30 :30 :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Fitrah dengan arti pembawaan dapat berarti
islam, dan beriman-tauhid sesuai sabda nabi Nabi Muhammad SAW kepada sahabat
Barra’ ibn ‘Azib setelah beliau mengajarkan doa menjelang tidur, beliau lalu
memberi penjelasan yang maksudnya, bila ‘Azib kemudian meninggal setelah
mengucapkan doa itu, maka dia meninggal dalam keadaan fitrah, maksudnya dalam
keadaan iman, bertauhid, dan Islam.[2]
Kemudian dalam
riwayat lain diceritakan, bahwa Al-Aswad ibn Sari’ dari bani Sa’ad –yang
mengikuti peperangan bersama Rasulullah- bahwa dalam suatu peperangan pasukan
islam membunuh anak-anak setelah membunuh pasukan musuh. Tatkala berita itu sampai pada Rasulullah,
beliau sangat marah dan menegur dengan keras : “Kenapa mereka membunuh
anak-anak?” salah seorang memberikan jawaban : “ Ya Rasulullah, bukankah mereka
itu anak-anak kaum musrikin?” Rasulullah menjawab : “Yang terbaik diantara
kalian pun juga anak-anak kaum musrikin. Ketauhilah bahwa tidaklah seorang pun
dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan Fitrah. Dia akan tetap dalam
fitrahnya itu sampai lisannya sendiri merobahnya. Maka kedua orangtuanyalah
yang meyahudikan dan menashranikannya. (HR. Ibn Jarir).
C. Pandangan Islam tentang Hidup
Hidup
adalah kesempatan untuk beribadah dan mencari ridha-Nya. Allah berfirman dalam
QS. Adz-Dzariyat 51: 56: “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Firman Allah ini mengisyaratkan
dengan jelas bahwasannya beribadah bagi manusia adalah target, standar keberhasilan,
sekaligus tujuan dan tugas dalam hidup ini, disamping kewajiban dan keharusan.[3] Hidup adalah medan untuk
melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, sesuai dengan
firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah 2:30 dan QS. al-An’am 6: 165.
Bahwasannya
ibadah itu tidak sebatas ibadah mahdah saja, tetapi menggarap bumi dan
mengelola urusan dunia dengan baik, juga bisa masuk dalam kategori ibadah.
Hidup adalah kesempatan mengaktualisasi diri dan beramal sesuai dengan firman
Allah dalam QS. at-Taubah 105. Jadi hidup adalah medan untuk berkiprah,
berusaha, dan bekerja. Hidup untuk memperoleh hasanatan fiddunya wal-akhirrah
(kebaikan/keberuntungan di dunia dan akhirat).
Kebahagiaan
manusia yang sesungguhnya dan yang merupakan tujuan hidupnya adalah akhirat.
Dunia dan segala isinya hanya mempunyai nilai apabila digunakan dan diarahkan
untuk pencapaian tujuan akhir itu. Meskipun dunia dapat digunakan digunakan
untuk pencapaian tujuan akhir di akhirat, tetapi dunia juga dapat menjadi
penghalang untuk pencapaian tujuan itu.
[1] Ahmad Jannan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam
(Tinjauan Filosofi), Suka Press : Yogyakarta, Hal. 48-49
[2] Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan
Filosofis), (Yogyakarta : SU-KA Press, 2009), Hal. 47.
[3] Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam
(Yogyakarta: SUKA-Press, cet 2, 2010),hlm. 74
A. Hakekat dan Tujuan
Penciptaan Manusia
Ada teori besar
yang pernah diperkenalkan oleh Charles Darwin tentang asal muasal manusia.
Teori itu mengatakan bahwa manusia pada mulanya adalah kera yang kemudian
ber-evolusi melalui perubahan-perubahan mekanis yang pada akhirnya berubah
menjadi manusia sempurna seperti kita.
Munculnya teori
ini sangat menyinggung kaum agamawan pada waktu itu, dan bahkan sampai saat
ini. Berbagai argumen pun bermunculan untuk meruntuhkan teori tersebut.
Terlepas dari benar atau salahnya teori itu, sebagai seorang muslim, perlu
kiranya kita memahami asal usul manusia dengan merujuk pada sumber utama kita,
yaitu Al-Qur’an, sekaligus memperbandingkan apakah teori dari Darwin tersebut
sejalan dengan Al-Qur’an atau justru bertentangan.
Dalam Al-Qur’an
sangat jelas bahwa manusia pada mulanya tidak seperti yang dikatakan oleh
Darwin melalui teorinya. Akan tetapi manusia pertama (Nabi Adam as) adalah
salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sempurna, atau dalam bahasa
Qur’an dikatakan ahsani taqwiim. Ahsani taqwim ini menunjukkan bahwa manusia
memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain, baik itu hewan,
jin, maupun malaikat. Secara lebih rinci Al-Qur’an telah menjelaskan
tentang penciptaan manusia, hal tersebut
dapat dikategorikan dalam 4 cara, (1) diciptakan dari tanah (penciptaan nabi
adam) : Q.S. Al-Hijr 15 : 26, (2) Diciptakan dari tulang rusuk (penciptaan
hawa) : Q.S. An-Nisa’ 4 : 1, (3) diciptakan melalui seorang ibu melalui proses
kehamilan tanpa ayah/ tanpa proses biologis (penciptaan nabi isa as) : Q.S.
Maryam 19 : 16-22), dan (4) diciptakan
melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain
adam, hawa, dan isa) : Q.S. Al-Mu’minuun 23 : 12-14.
Allah
menciptakan manusia, tidak dengan kesia-siaan. “Maka apakah kamu mengira bahwa
Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?” [Al-Mu’minun: 115]. Atau tidaklah manusia diciptakan
sebatas untuk menikmati kehidupan dunia dan segala keindahannya. Pada
hakekatnya Allah menciptkan manusia tujuannya adalah :
1.
Untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”,
(Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56).
Harus
ditekankan disini, bahwa menyembah dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan
sebagai upacara ritual-seremonial (religious system) yang umum kita pahami,
namun ibadah disini dipahami secara umum, jauh lebih luas dari pemaknaan itu, yaitu
aktifitas mendekatkan diri kepada Allah dengan segala cara yang dibenarkan oleh
Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) dalam semua aspek kehidupan.
2.
Untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah kepada para malaikat
tatkala akan menciptakan manusia:
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً ......
Artinya : “
Ingatlah, ketika Tuhanmua berkata kepada para malaikat, Aku akan menciptakan
khalifah di atas bumi”, (Q.S. Al-Baqarah 2 : 30).
Secara
etimologis, khalifah berarti pengganti atau yang mewakili. Jika Umar bin
Khattab disebut Khalifah dalam memimpin negara, maka manusia adalah makhluk
yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola bumi ini atas nama Allah. Semula
para malaikat mengira bahwa, tugas adam dan anak cucunya hanyalah beribadah
kepada Allah dalam arti sempit, seperti bertasbih dan memuji-Nya. Oleh sebab
itu malaikat bertanya, apakah tidak cukup kami (malaikat) yang senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah. Tetapi rupanya Allah menginginkan
manusia tidak hanya beribadah dalam arti sempit, tetapi juga beribadah dalam
arti seluas-luasnya yang dalam ayat ini disebut sebagai Khalifah.
Dengan
demikian, tugas kekhalifahan manusia belum terlaksana manakala manusia hanya
sekedar melakukan ibadah dalam arti sempit (ritual-seremonial), namun manusia
dituntut juga untuk mengelola secara dinamis dan kreatif kehidupan di atas
permukaan bumi ini.
3. Tujuan lain dari penciptaan manusia adalah untuk menyeru kepada sesama
dalam kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar (amar ma’ruf dan nahi munkar). “Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka.
Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan diantara mereka adalah
orang-orang fasik.” [Ali Imran: 110]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia
juga mengemban tugas untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan
mungkar.
4. Dambaan manusia yang benar adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al- Baqarah 200-201 :
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠)وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ (٢٠١)
Artinya : “
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang berdoa: "Ya
Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya
bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".
5.
Ridho Allah harus menjadi tujuan hidup manusia. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. At-Taubah : 100
وَالسَّابِقُونَ
الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (١٠٠)
Artinya :
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”[1]
Dengan
demikian, tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk mengabdikan dirinya
kepada sang pencipta. Yaitu pengabdian yang tulus tanpa ada tendensi apapun
selain hanya ingin mendapat ridho-Nya. Seperti halnya ayat yang sering kita
baca, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semuanya adalah
untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Karena kita adalah milik Allah dan akan
kembali kepada Allah.
B.
Fitrah Manusia
Allah menciptakan umat manusia dengan fitrah
bertuhan. Tidak ada manusia yang lahir tidak bertuhan, semuanya dilahirkan
dalam keadaan mengakui adanya Tuhan. Secara metaforis Allah menggambarkan bahwa
setiap manusia sudah memberikan kesaksian sejak alam rahim bahwa Allah adalah
Tuhannya. Hal itu dinukil oleh Allah dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab: Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani
adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaaan Tuhan)”. (Q.S.
Al-A’raf 7 : 172)
Menurut ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa
setiap manusia anak cucu adam telah memberikan kesaksian sebelum mereka dilahirkan
bahwa Allah adalah Rabb mereka, Malik dan Ilah-nya, tidak ada Ilah melainkan
Allah semata (Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir). Oleh karena itu Allah
memerintahkan kepada umat manusia untuk tetap berada dalam fitrah Tauhid
tersebut dengan cara mengikuti agama Allah yang lurus (Islam).
Fitrah bertuhan itu hanyalah potensi dasar yang
harus dipelihara dan dikembangkan. Kedua orangtualah yang berkewajiban untuk
memelihara dan mengembangkannya sehingga setelah dewasa nanti anaknya tetap
menjadi Muslim. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang berperan) merobah anak itu
menjadi seorang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam sebuah riwayat, abu Hurairah
merekomendasikan hadits tersebut agar dikaitkan dengan Q.S. Ar-Rum 30 :30 :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Fitrah dengan arti pembawaan dapat berarti
islam, dan beriman-tauhid sesuai sabda nabi Nabi Muhammad SAW kepada sahabat
Barra’ ibn ‘Azib setelah beliau mengajarkan doa menjelang tidur, beliau lalu
memberi penjelasan yang maksudnya, bila ‘Azib kemudian meninggal setelah
mengucapkan doa itu, maka dia meninggal dalam keadaan fitrah, maksudnya dalam
keadaan iman, bertauhid, dan Islam.[2]
Kemudian dalam
riwayat lain diceritakan, bahwa Al-Aswad ibn Sari’ dari bani Sa’ad –yang
mengikuti peperangan bersama Rasulullah- bahwa dalam suatu peperangan pasukan
islam membunuh anak-anak setelah membunuh pasukan musuh. Tatkala berita itu sampai pada Rasulullah,
beliau sangat marah dan menegur dengan keras : “Kenapa mereka membunuh
anak-anak?” salah seorang memberikan jawaban : “ Ya Rasulullah, bukankah mereka
itu anak-anak kaum musrikin?” Rasulullah menjawab : “Yang terbaik diantara
kalian pun juga anak-anak kaum musrikin. Ketauhilah bahwa tidaklah seorang pun
dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan Fitrah. Dia akan tetap dalam
fitrahnya itu sampai lisannya sendiri merobahnya. Maka kedua orangtuanyalah
yang meyahudikan dan menashranikannya. (HR. Ibn Jarir).
C. Pandangan Islam tentang Hidup
Hidup
adalah kesempatan untuk beribadah dan mencari ridha-Nya. Allah berfirman dalam
QS. Adz-Dzariyat 51: 56: “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Firman Allah ini mengisyaratkan
dengan jelas bahwasannya beribadah bagi manusia adalah target, standar keberhasilan,
sekaligus tujuan dan tugas dalam hidup ini, disamping kewajiban dan keharusan.[3] Hidup adalah medan untuk
melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, sesuai dengan
firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah 2:30 dan QS. al-An’am 6: 165.
Bahwasannya
ibadah itu tidak sebatas ibadah mahdah saja, tetapi menggarap bumi dan
mengelola urusan dunia dengan baik, juga bisa masuk dalam kategori ibadah.
Hidup adalah kesempatan mengaktualisasi diri dan beramal sesuai dengan firman
Allah dalam QS. at-Taubah 105. Jadi hidup adalah medan untuk berkiprah,
berusaha, dan bekerja. Hidup untuk memperoleh hasanatan fiddunya wal-akhirrah
(kebaikan/keberuntungan di dunia dan akhirat).
Kebahagiaan
manusia yang sesungguhnya dan yang merupakan tujuan hidupnya adalah akhirat.
Dunia dan segala isinya hanya mempunyai nilai apabila digunakan dan diarahkan
untuk pencapaian tujuan akhir itu. Meskipun dunia dapat digunakan digunakan
untuk pencapaian tujuan akhir di akhirat, tetapi dunia juga dapat menjadi
penghalang untuk pencapaian tujuan itu.
[1] Ahmad Jannan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam
(Tinjauan Filosofi), Suka Press : Yogyakarta, Hal. 48-49
[2] Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan
Filosofis), (Yogyakarta : SU-KA Press, 2009), Hal. 47.
[3] Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam
(Yogyakarta: SUKA-Press, cet 2, 2010),hlm. 74
Komentar
Posting Komentar